KOMUNIKASI YANG CERDAS KUNCI SUKSES MENJADI PUSTAKAWAN (Oleh: Mustofa, SIP.)

A. Latar Belakang Masalah

Layanan perpustakaan dapat dikategorikan sebagai suatu jasa. Sebagai suatu jasa maka layanan perpustakaan merupakan salah satu unsur penting dalam proses belajar mengajar, karena dengan adanya layanan perpustakaan yang baik akan dapat mebangun kepercayaan pemustaka dan donatur. Dasar dari pemasaran jasa adalah kualitas layanan yang diberikan, sebab pada produk  berupa jasa yang dipasarkan intinya adalah kinerja.

Keberadaan perpustakaan di lingkungan dunia pendidikan merupakan salah salah satu sarana penunjang penting bagi terselengaranya proses belajar mengajar. Terlebih lagi di lingkungan perguruan tinggi dewasa ini dengan kondisi kompetisi yang semakin ketat. Persaingan untuk tetap eksis dan menjadi yang terbaik harus didukung oleh berbagai sarana yang baik pula sehingga proses pendidikan yang berlangsung dapat menghasilkan output yang baik.[2]

Perguruan tinggi bukan saja terbatas pada proses pembelajaran mahasiswa dan dosen saja, melainkan juga berfungsi sebagai pengembag ilmu dan penerap ilmu yang bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan serta teknologi. Salah satu komponen penting perpustakaan adalah pustakawan. Komponen ini sangat diperlukan untuk meberikan pelayanan (jasa)  kepada pengguna perpustakaan sampai mampu meberikan tingkat kepuasan terhadap masyarakat yang dilayani. Pelayanannya sudah barang tentu bertingkat sesuai dengan kebutuhan / keperluan yang dilayani.[3]

Interaksi yang ada di UPT Perpustakaan ISI Surakarta saat ini masih jauh dari harapan, interaksi komunikasi yang ada sering tidak sesuai dan semulus yang diinginkan. Hubungan antara atasan dan bawahan, pustakawan dengan pustakawan,  pustakawan dengan tenaga non pustakawan serta pustakawan dengan pemustaka. Sebagai contoh apabila atasan memberikan tugas kepada pustakawan, terkadang tugas tersebut diartikan sebagai pemberian beban karena diangap kurang disukai. Komunikasi yang cerdas tentunya akan berbeda, yang diberikan tugas seharusnya merasa bahwa itu adalah amanah yang orang lain belum tentu bisa melaksanakannya, sehingga tidak ada kesalahfahaman. Contoh yang lain adalah ketika pemustaka menanyakan koleksi atau sumber informasi yang dibutuhkan, jawaban pustakawan seharusnya memberikan solusi tentang permasalahan yang dihadapi oleh si pemustaka. Terkadang malah sebaliknya, jawaban pustakawan hanya asal-asalan saja, dikatakan bahwa koleksi tersebut tidak ada. Ketidakadaan koleksi tersebut harusnya bisa dilacak, siapa yang meminjam dan kapan seharusnya dikembalikan.

Terutama adalah pustakawan yang bersinggungan langsung dengan pemustaka yaitu di bagian sirkulasi dan referensi, komunikasi merupakan bagian yang penting untuk menyampaikan pesan dalam hal ini yaitu informasi yang dimiliki di perpustakaan. Jangan sampai pustakawan mengatakan “wah saya tidak tahu”, “wah bukunya mungkin lagi dipinjam” atau dengan jawaban-jawaban yang tidak memuaskan pemustaka.

Dalam proses interaksi tersebut terjadi proses komunikasi. Melalui aktivitas komunikasi yang dilakukan, semua pihak yag terlihat dalam proses interaksi tersebut memahami keinginan dari masing-masing anggota. Begitu pula pustakawan sebagai aktor pengelola perpustakaan, pustakawan juga dituntut untuk memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik. Pustakawan akan berinteraksi dengan pengguna perpustakaan, rekan kerja, pimpinan dan stake holder lainnya. Agar mampu berinteraksi dengan berbagai elemen tersebut maka pustakawan dituntut untuk memiliki kemampuan berkomunikasi. Jika pustakawan tidak mampu berkomunikasi dengan baik maka dapat berdampak terhadap kualitas hubungan serta layanan yang diberikan kepada pemustaka, rekan kerja dan pimpinan. Melihat arti penting komunikasi dalam aktivitas pengelolaan serta pelayanan perpustakaan maka perlu adanya kajian khusus tentang komunikasi di perpustakaan serta keterampilan komunikasi seorang pustakawan.[4]

B. Rumusan Masalah

Terkait latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam tulisan  ini adalah  bagaimana peran komunikasi dalam dunia perpustakaan serta kompetensi apa saja yang harus dimiliki  oleh seorang pustakawan dalam berkomunikasi secara cerdas?

C. Pembahasan

  1. Pengertian

Hal yang paling sering kita lakukan adalah komunikasi, setiap hari dari kita bangun tidur sampai kita ingin tidur kembali. Komunikasi menjadi aktivitas yang sering dilakukan oleh umat manusia karena komunikasi merupakan sarana untuk berinteraksi dengan orang lain dalam usaha mepertahankan eksistensinya.[5] Seseorang akan berkomunikasi dengan tetangga, dengan rekan kerja, dengan pimpinan pimpinan atau dengan orang lain. Melalui komunikasi sesorang ingin melakukan interaksi sosial. Usaha ini untuk melakukan interaksi sosial ini merupakan upaya untuk mepertahankan eksistensinya. Komunikasi merupakan dasar dalam proses interaksi sosial.[6]

Komunikasi – communication adalah interaksi dari unsur-unsur pengirim, penerima, pesan, saluran komunikasi, dan tujuan komunikasi. Komunikasi asertif yaitu kemampuan menerapkan strategi berkomunikasi yang tepat sesuai karakter  pemustaka. Dengan komunikasi ini akan tercipta hubungan yang harmonis antara petugas dan pemustaka.[7] Sedangkan  komunikasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksut dapat dipahami. Definisi ini menekankan bahwa komunikasi merupakan kegiatan mengirim pesan atau berita dari seseorang ke orang lain sehingga pesan yang dikirimkan tersebut dapat dipahami oleh penerima pesan.[8]

Cerdas mempunyai pengertian sempurna perkembangan akal budianya (untuk berpikir, mengerti), tajam pikiran.[9] Kunci memiliki arti kedudukan (tempat) yang sangat penting untuk menguasai sesuatu untuk mengenakan pengaruh, atau alat untuk mencapai suatu yang dimaksud (dapat memborngkar rahasia, memecahkan masalah).[10] Sukses memiliki arti berhasil ; beruntung.[11]

Dari berbagai definisi tersebut maka dapat disimpulkan, komunikasi yang cerdas merupakan kegiatan pengiriman informasi, berita atau pesan dari seseorang kepada orang lain dengan menggunakan akal budinya (dengan berpikir) serta memanfaatkan berbagai media baik elektronik maupun non elektronik untuk mencapai tujuan atau memecahkan masalah agar berhasil. Dari definisi tersebut di atas jika diinventariasai ada beberapa komponen komunikasi. Komponen tersebut antara lain komunikator, pesan atau informasi, media, komunikan dan efek. Kominakator merupakan pihak yang memulai komunikasi atau sumber dari komunikasi (sumber informasi). Pesan adalah informasi yang ingin disampaikan dalam proses komunikasi. Media adalah sarana yang digunakan dalam proses komunikasi dan komunikan merupakan pihak yang diajak berkomunikasi oleh komunikan. Sedangkan efek adalah dampak yang ditimbulkan oleh proses komunikasi tersebut.[12]

  1. Pandangan Masyarakat Terhadap Pustakawan Saat Ini

Pustakawan yang berkarakter sebenarnya bisa saja dimiliki oleh semua perpustakaan. Masalahnya hanya pada kemauan, dan atau mengikis ketidak tahuan dan ketidakmauan. Sehingga bisa terhindar dari kesan negatif masyarakat. Setidaknya pustakawan mesti bisa terhindar dari penilaian negatif sebagaimana ada yang menilai pegawai pemerintah yang kurang baik dimata masyarakat. Bahkan kegelisahan diupload dan bisa secara bebas semua orang membacanya. Sebagai contoh sebuah blog dari Anneahira dalam Wiji Suwarno,[13] mendiskursuskan mengenai keburukan pegawai pemerintah jika tidak berpedoman pada kode etiknya, dikatakan bahwa ada 7 (tujuh) perilaku “buruk” pegawai pemerintah berkaitan dengan budaya organisasi :

  1. Malas, seringkali kita memperoleh informasi baik dari televisi atau media yang lainnya bahwa didapati pegawai masih mengenakan seragam kerjaberkeliaran di pasar, shoping pada waktu kerja. Mereka bekerja tanpa konsep yang jelas, asal berangkat kerja saja, dan pada akhirnya tidak tahu apa yang harus dikerjakan pada saat itu.
  2. Lama, Proses birokrasi yang panjang dan tidak ada SOP-nya menyebabkan pelayanan menjadi tersendat dan butuh waktu yang cukup lama untuk menyelesaikannya.
  3. Korup, sejumlah kendala pegawai yang mempunyai mental korup, memanfaatkan anggaran tidak sesuai aturannya, bahkan masuk ke kantong pribadi yang secara hukum tidak sah.
  4. Nepotisme, nepotisme dalam arti memanfaatkan “aji mumpung” menempati kedudukan tertentu, mereka membawa orang-orang terdekat untuk masuk menjadi pegawai.
  5. Anti Kritik, Orang yang sudah kepalang menjabat biasanya anti kritik. Tidak tahan terhadap koreksi yang diberika orang padahal bisa dijadikan masukan untuk perbaikan-perbaikan.
  6. Berjarak, berjarak dimaksutkan disini antara aparat / pegawai pemerintahan dengan rakyat yang dilayani seolah-olah berjarak. Hubungan antara keduanya sebagai atasan dan bawahan, dimana masyarakat di luar harus hormat dan patuh kepadanya.
  7. Macam-macam Komunikasi

Ada banyak macam komunikasi, yaitu :

a). Komunikasi Formal dan Informal

Komunikasi formal secara sistematis menyampaikan sejumlah informasi kepada anggota-anggota organisasi sesuai jabatan-jabatan mereka. Ini membantu menjamin anggota-anggota organisasi menerima (dan menyampaikan) informasi yang berhubungan dengan tanggung jawab pekerjaan mereka. Ada tiga tipe umum komunikasi formal dengan organisasi yang didasarkan atas arah arus informasi, yakni ke bawah, keatas dan ke samping atau horisontal. Komunikasi informal timbul untuk memenuhi kebutuhan pegawai.  Komunikasi ini tidak disahkan oleh manajemen, dan tidak ada hierarki struktural yang telah dibuat sebelumnya dengan mana komunikasi informal ditentukan. Akan tetapi, justru karena komunikasi informal tidak ada sanksinya, adanya komunikasi tersebut tidak ada yang merintangi.[14]

  1. b) Komunikasi Tertulis dan Lisan

Media komunikasi tertulis dan lisan mempunyai ciri-ciri  yang menguntungkan dan yang tidak ; akibatnya, keduanya sering sama-sama digunakan sehingga sifat dari masing-masing yang menguntungkan dapat melengkapi yang lain.[15] Komunikasi tertulis, mempunyai keuntungan memberikan catatan-catatan dan referensi-referensi yang resmi. Kita dapat mempersiapkan pesan dengan cermat dan menyampaikannya kepada banyak orang melalui pengiriman per-pos. Komunikasi tertulis dapat juga meningkatkan keseragaman dalam kebijaksanaan dan prosedur dan dalam beberapa hal dapat mengurangi biaya.[16] Komunikasi lisan, sebagaian besar informasi dikomunikasikan secara lisan. Suatu studi menemukan bahwa 70% responden menyatakan bahwa mereka memberikan 75% pekerjaan secara lisan. Komunikasi lisan dapat berupa pertemuan tatap muka dari dua orang, atau seorang manajer menghadapi banyak pendengar ; komunikasi ini dapat formal atau informal, dan dapat terencana atau tidak. Keuntungan komunikasi lisan adalah bahwa komunikaasi ini dapat memberika pertukaran yang cepat dengan umpan balik segera.[17]

  1. c) Komunikasi Verbal dan Non Verbal

Mengadakan komunikasi berarti meberikan informasi, meyakinkan, dan menarik perhatian orang lain melalui pesan verbal dan nonverbal.

  • Komunikasi Verbal, verbal berarti penggunaan kata-katan,” baik tertulis maupun lisan. Tepatnya para pakar pidato penulis akan menghindari kata “verbal” apabila yang mereka maksutkan adalah “lisan”. Lisan atau diucapkan menunjukkan komunikasi berbicara ; tertulis menunjukkan tugas-tugas penulisan. Menurut Pitfield, komunikasi verbal dapat berupa kontak tatap muka, wawancara, konsultan bersama, dan pidato.
  • Komunikasi Nonverbal, nonverbal berarti “tanpa penggunaan kata-kata” orang-orang tidak henti-hentinya menyampaikan pesan nonverbal melalui gerakan badan, penampilan, bau harum, pakaian, pakaian seragam, ekspresi wajah, barang-barang perhiasan, mobil, dan bermacam-macam simbol isyarat dan perilaku. Kita dapat mengadakan komunikasi dengan banyak cara yang berlainan. Apa yang kita katakan dapat diperkuat dengan komunikasi non verbal, seperti ekspresi wajah dan gerak badan. Komunikasi non verbal diharapkan membantu  komunikasi verbal.[18]
  1. Hal-hal yang dibutuhkan dalam berkomunikasi

Ada beberapa syarat yang dibutuhkan dalam berkomunikasi agar hubungan antar personal akan selalu harmonis :

  1. Keterbukaan
    Terbuka tentang keadaan diri, kekurangan, kelebihan, keluarga, dan tentang segala hal. Karena harus disadari, setiap orang pasti punya rahasia yang tidak bisa diungkapkan begitu saja. Itu sangat lumrah. Tujuan dari keterbukaan ini, adalah menerima apa adanya setiap pasangan. Dengan begitu, kekurangan dan kelebihan pasangan bisa dimengerti dan dipahami.[19]
  2. Empati

Empati memiliki peran penting dalam berkomunikasi yaitu ketika   seseorang mampu untuk menempatkan dirinya pada situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain. Salah satu prasyarat utama dalam memiliki sikap empati adalah kemampuan seseorang untuk mendengarkan atau mengerti terlebih dulu sebelum didengarkan atau dimengerti oleh orang lain. Rasa empati akan memberi kemampuan seseorang untuk dapat menyampaikan pesan (message) dengan cara dan sikap yang akan memudahkan penerima pesan (receiver) menerimanya. Oleh karena itu dalam ilmu pemasaran (marketing) memahami perilaku konsumen (consumer’s behavior) merupakan keharusan. Dengan memahami perilaku konsumen, maka kita dapat empati dengan apa yang menjadi kebutuhan, keinginan, minat, harapan dan kesenangan dari konsumen. Demikian halnya dengan bentuk komunikasi lainnya, misalnya komunikasi dalam membangun kerjasama organisasi. diperlukan rasa saling memahami dan mengerti keberadaan orang lain dalam suatu organisasi. Maka dengan rasa empati yang dimiliki setiap anggota organisasi akan membangun rasa  keterbukaan dan kepercayaan dalam membangun kerjasama dan menimbulkan respek atau penghargaan.[20]

  1. Sikap Menghargai

Di dalam komunikasi yang efektif ada sikap menghargai setiap individu yang menjadi sasaran pesan yang kita sampaikan. Rasa hormat dan saling menghargai merupakan bagian dalam kita berkomunikasi dengan orang lain. Setiap  manusia ingin dihargai dan dianggap penting. Jika kita bahkan harus mengkritik atau memarahi seseorang, lakukan dengan penuh respek terhadap harga diri dan kebanggaaan seseorang. Jika kita membangun komunikasi dengan rasa dan sikap saling menghargai dan menghormati, maka kita dapat membangun kerjasama yang menghasilkan sinergi yang akan meningkatkan efektifitas kinerja kita baik sebagai individu maupun secara keseluruhan sebagai sebuah tim atau organisasi.[21]

  1. Sikap Audible

Hal selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah audible, bagaimana seseorang mampu mendengarkan pesan yang disampaikan dan dapat dimengerti, apabila empati adalah seseorang harus mendengar terlebih dahulu ataupun mampu menerima umpan balik dengan baik, maka audible berarti pesan yang kita sampaikan dapat diterima oleh penerima pesan. Hukum ini mengatakan bahwa pesan harus disampaikan melalui media atau delivery channel sedemikian rupa hingga dapat diterima dengan baik oleh penerima pesan. Hukum ini mengacu pada kemampuan seseorang untuk menggunakan berbagai media maupun perlengkapan atau alat bantu audio visual yang akan membantu seseorang agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik. Dalam komunikasi personal hal ini berarti bahwa pesan disampaikan dengan cara atau sikap yang dapat diterima oleh penerima pesan. Dalam suatu organisasi tentunya banyak informsi yang perlu disampaikan maka dengan menggunakan berbagai media, seperti media elektronik akan membantu efektifitas komunikasi.[22]

  1. Kejelasan

Kejelasan atau Clarity dalam memberikan informasi tentunya sangat mempengaruh efektifitas berjalannya komunikasi. Ketika suatu informasi disampaikan tidak jelas maka akan menimbulkan berbagai macam penafsiran, atau mungkin akan salah ditafsirkan, dimana ketika seseorang salah menafsirkan informasi disebabkan informasi yang tidak jelas, tentunya akan menghambat jalannya program kerja organisasi tersebut, atau dalam kegiatan yang sedang dilaksanakan. Kejelasan  (clarity) dapat pula berarti keterbukaan dan transparansi. Dalam berkomunikasi kita perlu mengembangkan sikap terbuka (tidak ada yang ditutupi atau disembunyikan), sehingga dapat menimbulkan rasa percaya (trust) dari penerima pesan atau anggota tim kita. Karena tanpa keterbukaan akan timbul sikap saling curiga dan pada gilirannya akan menurunkan semangat dan antusiasme anggota organisasi.[23]

  1. Rendah Hati

Untuk membangun komunikasi yang efektif diperlukan rasa rendah hati (Humble), sikap ini merupakan unsur yang terkait dengan hukum pertama untuk membangun rasa menghargai orang lain, biasanya didasari oleh sikap rendah hati yang kita miliki. Yang pada intinya antara lain, sikap yang penuh melayani (dalam bahasa pemasaran Customer First Attitude), sikap menghargai, mau mendengar dan menerima kritik, tidak sombong dan memandang rendah orang lain, berani mengakui kesalahan, rela memaafkan, lemah lembut dan penuh pengendalian diri, serta mengutamakan kepentingan yang lebih besar. Apabila setiap anggota organisasi memiliki sikap kerendahan hati, maka pribadinya akan menjadi komunikator yang baik, dimana ia mau mendengar, menghargai, dan menerima kritik. Seorang pemimpin tentunya harus memiliki kerendahan hati, tanpa menggunakan segala kewenangannya atau bersikap egois. Pemimpin yang rendah hati akan menjadi tauladan yang baik bagi para anggotanya. Apabila seorang pemimpin menjadi tauladan bagi anggotanya, maka setiap anggota akan merasa dihargai oleh pemimpinnya, dengan begitu komunikasi antara anggota dengan ketua akan lebih terbuka.[24]

  1. Komunikasi di Perpustakaan

Komunikasi merupakan salah satu aspek penting dalam pengelolaan organsasi. Berhasil atau tidaknya organisasi tersebut mencapai tujuan yang ingin dicapai sangat tergantung pada kualiatas komunikasi yang terjadi antar anggota organisasi. Jika dilihat dari pihak-pihak yang terlibat serta darimana pihak-pihak tersebut berasal dalam proses komunikasi maka aktivitas komunikasi yang dilakukan di perpustakaan dapat diberikan menjadi dua, yaitu komunikasi internal dan eksternal. Komunikasi internal merupakan komunikasi yang dilakukan antara pustakawan dengan pustakawan, anatar pustakawan dengan kepala perpustakaan atau antara pustakawan dengan unit lain di lembaga serta antara pustakawan dengan pimpinan lembaga. Sedangkan komunikasi eksternal adalah komunikasi dengan pihak luar perpustakaan seperti dengan media masa, pihak-pihak yang berkepentingan dengan perpustakaan.

Perpustakaan perlu mengelola komunikasi internalnya dengan baik. Usaha ini diperlukan agar tercipta suasana yang kondusif di perpustakaan. Suasana yang kondusif memungkinkan pustakawan memaksimalkan potensi yang dimilikinya. Pengelolaan komunikasi eksternal diperlukan untuk memelihara hubungan baik dengan stake holder perpustakaan serta membangun citra posistif tentang perpustakaan.

Komunikasi yang dilakukan oleh seorang pustakawan baik dalam konteks komunikasi internal maupun eksternal memiliki beberapa tujuan, berbagai tujuan tersebut anatara lain :

  1. Perubahan Sikap, sikap merupakan suatu kecenderungan yang dipelajari untuk bertingkah laku tertentu terhadap suatu objek.
  2. Perubahan Opini, opini merupakan sesuatu topik yang sedang berkembang dimasyarakat. Saat ini opini yang berkembang di masyarakat tentang perpustakaan cenderung bernilai negatif. Perpustakaan hendaknya selalu berkomunkasi dengan pemustaka sehingga mampu merubah opini masyarakat yang salah tentang perpustakaan.
  3. Perubahan perilaku, setelah mampu merubah sikap serta opini maka tujuan terakhir dari komunikasi yang dilakukan oleh pustakawan adalah perubahan perilaku. Perubahan perilaku terjadi karena adanya perubahan sikap dan opini. Sebagai contoh jika seorang sebelumnya enggan datang ke perpustakaan maka apabila telah terjadi perubahan perilaku maka orang tersebut akan rajin untuk datang ke perpustakaan.[25]
  4. Berkomunikasi Secara Cerdas

Seorang pustakawan dituntut untuk bisa menyampaikan dan mengirim informasi, berita atau pesan dari seseorang kepada orang lain dengan menggunakan akal budinya (dengan berpikir) secara cerdas dengan  lisan (verbal). Karena berdasarkan suatu studi ditemukan bahwa mereka banyak memberikan pekerjaan secara lisan. Komunikasi lisan dapat berupa pertemuan tatap muka dari dua orang, atau seorang manajer menghadapi banyak pendengar ; komunikasi ini dapat formal atau informal, dan dapat terencana atau tidak. Komunikasi bisa dikatakan cerdas apabila memiliki unsur-unsur di bawah ini :

  1. Berkomunikasi Secara Efektif

Pemakai perpustakaan adalah orang-orang yang datang kepada kita (para petugas) dengan maksut, tujuan, dan harapan tertentu serta ingin memperoleh apa yang diinginkan dengan cara yang menyenangkan. Oleh karena itu, para petugas bidang pelayanan diharapkan menguasai teknik komunikasi yang sederhana, tetapi efektif, yang akan menimbulkan saling pengertian dan saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) antara kedua belah pihak. Dari beberapa definisi komunikasi diatas dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah proses pemindahan / penyampaian warta / berita / informasi yang mengandung arti dari satu pihak (seseorang atau tempat) kepada pihak lain dalam upaya saling pengertian. Dalam komunikasi yang paling penting adalah terjadinya hubungan yang serasi dan selaras serta harmonis, disertai saling pengertian. Banyak teori yang dipaparkan mengenai definisi komunikasi, tetapi yang paling penting adalah bagaimana mempraktikkannya dalam pekerjaan sehari-hari. Dalam komunikasi dengan orang lain sebaiknya kita mulai belajar mengenali mood orang yang kita ajak berkomunikasi. Selain itu, kita juga perlu memiliki keahlian berkomunikasi, bersikap jujur, tidak pandang bulu, mau mendengar orang lain, tidak hanya membicarakan siri sendiri, dan mau mengakui kekurangan diri sendiri. Kunci komunikasi efektif adalah mencoba mengerti dan melakukan tindakan untuk memuaskan keinginan pemakai perpustakaan. Dengan demikian, anda akan menambah jumlah pemakai perpustakaan.[26]

  1. Berkomunikasi Secara Santun

Percakapan merupakan realitas komunikasi penggunaan yang berlangsung dalam interaksi sosial karena prinsipnya percakapan tersebut menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi dalam interaksi sosial. Oleh sebab itu percakapan tidak lepas dari pengaruh sosial budaya. Hal itu sesuai dengan pandangan fungsional terhadap bahasa bahwa sebagai sistem tanda, bahasa tidak terlepas dari faktor eksternal, yaitu ciri sosial, ciri demografi, dan sebagainya dan berarti pula bahwa fungsi bahasa tidak saja untuk berkomunikasi, tetapi juga untuk menunjukkan identitas sosial bahkan budaya pemakainya. Pengguna bahasa pada percakapan merupakan fenomena sosial dan budaya yang tidak terlepas dari tradisi berbahasa penuturnya. Dalam berbahasa tiap pelaku tutur senantiasa dilatari oleh faktor sosial dan nilai budaya atau tradisi di sekitarnya. Kebiasaan dapat bervareasi pada satu tempat dengantempat lain, antara satu bangsa dan bangsa lain.

Pemakaian bahasa dalam interaksi tidak dapat dapat dilepaskan dari fungsi bahasadan komponen-komponen interaksi yang lain. Keberhasilan pemakaian bahasa sebagai sebagai sarana interaksi dengan fungsi tersebut dipengaruhi oleh faktor pelaku tutur dan konteks yang melatarinya. Oleh sebab itu, pemakaian bahasa dapat dipandang sebagai sistem yang di dalamnya melibatkan komponen kebahasaan, pelaku tutur, dan konteks tersebut. Dengan kata lain, aktivitas berbahasa senantiasa dipengaruhi oleh komponen kebahasaan, hal-hal yang berkaitan dengan pelaku tutur, dan faktor sosial budaya sebagai konteks percakapan.

Kesantunan merupakan fenomena universal, artinya norma-norma kesantunan berlaku dalam penggunaan bahasa manapun di dunia ini. Manusia dalam berkomunikasi secara santun memiliki kesamaan asasi karena manusia memiliki daya pikir dan rasa yang pada gilirannya dipresentasikan dalam komunikasi. Hal itu terjadi karena manusia itu ingin dihargai dan dihormati. Tuturan imperatif dapat berkisar antara suruhan keras atau kasar sampai dengan permohonan yang sangat halus atau santun. Tuturan tersebut dapat pula berkisar atau suruhan untuk melakukan sesuatu sampai dengan larangan untuk melakukan sesuatu.[27]

Selanjutnya Rahardi Menjelaskan bahwa tuturan bermodus imperatif dapat mengandung makna suruhan, permintaan,permohononan, desakan, bujukan, imbauan, persilaan, ajakan, pengizinan, maupun larangan. Tuturan bermodus imperatif dapat dikategorikan atas tuturan langsung maupun tidak langsung. Apabila tuturan itu tersebut mengandung makna suruhan atau larangan, maka tuturan tersebut merupakan tuturan secara langsung. Akan tetapi, apabila tuturan bermodus imperatis tersebut mengandung makna, seperti ajakan atau mengizinkan, tuturan tersebut merupakan tuturan tidak langsung.[28]

  1. Mendapatkan Efek

Alasan yang utama mengapa kita mempelajari proses komunikasi, ialah untuk mengetahui bagaimana komunikasi mendapat efek. Kita ingin mengetahui bagaimana efek suatu jenis komunikasi kepada seseorang. Terhadap isi pesan (message content) yang kita kirimkan, kita ingin punya kemajuan untuk meramalkan efek apa yang akan timbul pada pihak penerimanya.[29] Mungkin kita dapat menggambarkan secara sederhana apa yang kita namakan “the condition or succes in communication” (kondisi suksesnya komunikasi, yakni kondisi-kondisi yang harus dipenuhi jika kita menginginkan agar suatu pesan membangkitkan tanggapan yang kita kehendaki. Marilah kita tulis secara ringkas, lalu membahasnya :

  • Pesan harus direncanakan dan disampaikan sedemikian rupa, sehingga dapat menarik perhatian sasarn yang dimaksud.
  • Pesan harus menggunakan tanda-tanda yang tertuju kepada pengalaman yang sama antara sumber dan sasarn, sehingga sama-sama dapat mengerti.
  • Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi fihak sasaran dan menyarankan beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan itu.
  • Pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan tadi, yang layak bagi situasi kelompok dimana sasran berada pada saat ia digerakkan untuk memberikan tanggapan yang dikehendaki.[30]
  1. Komunikasi Untuk Penyelesaian Konflik

Konflik merupakan suatu peristiwa yang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan berorganisasi, bahkan konflik selalu hadir dalam setiap hubungan kerjasama antar individu, kelompok atau organisasi. Konflik selalu melibatkan orang, pihak atau kelompok orang, menyangkut masalah yang menjadi inti, mempunyai proses perkembangan, kondisi yang menjadi latar belakang, sebab-sebab dan pemicunya.[31] Komunkasi efektif penting bagi manajer, karena 2 alasan. Pertama, komunikasi adalah proses dengan mana fungsi-fungsi manajemen, merencanakan, mengorganisasikan, memimpin dan mngendalikan dilaksanakan ; Kedua komunikaasi adalah kegiatan dimana manajer mencurahkan sebagiam besar dari waktunya. Menurut Rochaety, dkk. untuk menciptakan hubungan yang harmonis di antara anggota lembaga pendidikan perlu mengubah kontrol ke pendekatan komitmen. Kedua, untuk menciptakan hubungan yang harmonis dalam sebuah lembaga pendidikan antara lain dapat dilakukan dengan menciptakan komunikasi dua arah. Hubungan yang harmonis akan tercermin dari kualitas proses komunikasi di dalam dan antar lembaga pendidikan.[32]

Proses komunikasi sangat  berkaitan dengan bagaimana komunikasi itu berlangsung yang diawali: siapa, menyampaikan apa, dengan cara apa, atau melalui apa, kepada siapa dan berakibat apa.[33] Proses komunikasi adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Iklim komunikasi sebuah organisasi sangat penting karena mempengaruhi cara hidup kita : kepada siapa kita bicara, siapa yang kita sukai, bagaimana perasaan kita, bagaimana kegiatan kerja kita, bagaimana perkembangan kita, apa yang ingin kita capai dan bagaimana cara kita menyesuaikan diri dengan organisasi.[34]  

 D. Penutup

 Dalam proses interaksi terjadi proses komunikasi. Melalui aktivitas komunikasi yang dilakukan, semua pihak yag terlihat dalam proses interaksi tersebut memahami keinginan dari masing-masing anggota. Begitu pula pustakawan sebagai aktor pengelola perpustakaan, pustakawan juga dituntut untuk memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dan cerdas. Pustakawan akan berinteraksi dengan pengguna perpustakaan, rekan kerja, pimpinan dan stake holder lainnya. Agar mampu berinteraksi dengan berbagai elemen tersebut maka pustakawan dituntut untuk memiliki kemampuan berkomunikasi. Jika pustakawan tidak mampu berkomunikasi dengan baik maka dapat berdampak terhadap kualitas hubungan serta layanan yang diberikan kepada pemustaka, rekan kerja dan pimpinan. Komunikasi bisa dikatakan cerdas apabila memiliki unsur-unsur, yaitu berkomunikasi secara efektif, berkomunikasi secara santun, mendapatkan efek , komunikasi untuk  penyelesaian konflik.

  

DAFTAR PUSTAKA

Ardana, K., mujiati., & Ayusari A.G. Perilaku keorganisasian. Yogyakarta : garah Ilmu, 2008.

Hakim, Heri Abi Burachman. “Keterampilan Komunikasi : Kunci Sukses Seorang Pustakawan,” Siter : Saluran Informasi Tercetak., Vol. 1, No. 1, Septeber 2013, hlm. 34-46.

Isparwoto, Komuikasi dalam penyelesaian konflik di sekolah dasar., dalam Jurnal Pendidikan dan Pengajaran. Jilid 45, nomor 3. Oktober 2012., hlm. 272-283.

John Feather dan Paul Straugas (Ed.).  Internastional Encyclopedia Informastion and Library Science. London: Routledge, 2003.

Lasa HS.  Kamus Kepustakawanan Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2009.

Moekijat,  Teori Komunikasi. Bandung : Mandar Maju, 1993.

Onong, U-Efendy. Komunikasi dan Modernisasi. Bandung : Alumni, 1973.

Pace, R.W., & Faules, D.F. Komunikasi Organisasi, Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan, (Alih  Bahasa deddy Mulyana). Bandung : Remaja Rosda karya, 2006.

Suwardi, “Membangun kepuasan pemustaka melalui Kualitas LayananUmum di Perpustakaan di Perpustakaan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Yogyakarta,” Unilib : Jurnal Perpustakaan, Vol. 2 No. 1 Tahun 2009, hlm. 14-32.

Rahardi, K. Pragmatik Kesantunan Imperatif dalam bahasa Indonesia, Jakarta : Gramedia. 2005.

Rochaety, E., Rahayuningsih, P. & Gusti, P.Y. Sistem Informasi Manajemen Pensisikn. Jakarta: Bumi  Aksara, 2008.

Suwarno, Wiji. Ilmu Perpustakaan & Kode Etik  Pustakawan. Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2010.

Suwarno, Wiji. Diskursus Budaya Organisasi Kepustakawanan, dalam Libraria : Jurnal Ilmu Pepustakaan dan Informasi. Vol. 3, No. 1 2014., hlm. 83-95.

Syahrul R. Kesantuna Imperatif Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas., dalam Jurnal FP : Forum Pendidikan, vol. 32, nomor 02. Agustus 2007., hlm. 127-136.

Syihabuddin Qalyubi (ed.), 2003. Psikologi Pemakai Perpustakaan., dalam Dasar-Dasar Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Yogayakarta : Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi Fakultas Adab.

Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indoensai.  Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, 2001.

Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indoensai.  Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, 2005.

Webtografi

Desty Dina Daniar, Srategi Menciptakan Komunikasi Yang  Efektif dan Keterbukaan Antar Anggota  KSR PMI Unit  UPI, dalam https://destydinadaniar.wordpress.com/2012/02/10/stategi-menciptakan-komunikasi-yang-efektif-dan-keterbukaan-antar-anggota-ksr-pmi-unit-upi/ diunduh pada hari Jum’at, tanggal 2 Januari 2015.

Didats Triyadi, Komunikasi, Keterbukaan dan Kejujuran dalam sebuah hubungan, dalam http://didats.net/page/komunikasi-keterbukaan-dan-kejujuran-dalam-sebuah-hubungan/ diunduh pada hari Jum’at, tanggal 2 Januari 2015.

——————————————————————————–

[1] Pustakawan Pelaksana Lanjutan ISI Surakarta

[2] Suwardi, “Membangun kepuasan pemustaka melalui Kualitas LayananUmum di Perpustakaan di Perpustakaan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Yogyakarta,” Unilib : Jurnal Perpustakaan, Vol. 2 No. 1 Tahun 2009, hlm. 14-32.

[3] Wiji Suwarno. Ilmu Perpustakaan & Kode Etik  Pustakawan (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 88.

[4] Heri Abi Burachman Hakim. “Keterampilan Komunikasi : Kunci Sukses Seorang Pustakawan,” Siter : Saluran Informasi Tercetak., Vol. 1, No. 1, Septeber 2013, hlm. 34-46.

[5]  Heri Habiburrahman…., hlm. 34-46.

[6] John Feather dan Paul Straugas (Ed.) Internastional Encyclopedia Informastion and Library Science. London: Routledge, 2003., hlm. 84.

[7] Lasa HS.  Kamus Kepustakawanan Indonesia (Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2009), hlm. 178.

[8] Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indoensai. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta : Balai Pustaka, 2005).

[9] Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indoensai. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta : Balai Pustaka, 2001), hlm. 209.

[10] Ibid. hlm. 613.

[11] Ibid, hlm. 1099.

[12] Onong Uchjana Efendi. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek  (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006)., hlm. 6.

[13] Wiji Suwarno. Diskursus Budaya Organisasi Kepustakawanan, dalam Libraria : Jurnal Ilmu Pepustakaan dan Informasi. Vol. 3, No. 1 2014., hlm. 83-95.

[14] Moekijat, Teori Komunikasi. (Bandung : Mandar Maju, 1993), hlm. 125.

[15]  Moekijat….hlm. 125.

[16] Ibid..  hlm. 136.

[17] Ibid., hlm. 137

[18] Ibid, hlm. 141.

[19] Didats Triyadi, Komunikasi, Keterbukaan dan Kejujuran dalam sebuah hubungan, dalam http://didats.net/page/komunikasi-keterbukaan-dan-kejujuran-dalam-sebuah-hubungan/ diunduh pada hari Jum’at, tanggal 2 Januari 2015., pukul 14.30 WIB.

[20] Desty Dina Daniar, Srategi Menciptakan Komunikasi Yang  Efektif dan Keterbukaan Antar Anggota  KSR PMI Unit  UPI, dalam https://destydinadaniar.wordpress.com/2012/02/10/stategi-menciptakan-komunikasi-yang-efektif-dan-keterbukaan-antar-anggota-ksr-pmi-unit-upi/ diunduh pada hari Jum’at, tanggal 2 Januari 2015, pukul 14.46 WIB.

[21] ibid

[22] ibid

[23] Ibid, Desty Dina Daniar….

[24] Ibid, Desty Dina Daniar….

[25] Heri Abi Burachman Hakim. Keterampilan Komunikasi : Kunci Sukses seorang Pustakawan., dalam Jurnal Siter : Saluran Informasi Tercetak. Vol. 1, No. 1, September 2013., hlm. 34-47.

[26] Syihabuddin Qalyubi (ed.), Psikologi Pemakai Perpustakaan., dalam Dasar-Dasar Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Yogayakarta : Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi Fakultas Adab, 2003., hlm. 241

[27] Syahrul R. Kesantuna Imperatif Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas., dalam Jurnal FP : Forum Pendidikan, vol. 32, nomor 02. Agustus 2007., hlm. 127-136.

[28] Rahardi, k. Pragmatik Kesantunan Imperatif dalam bahasa Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 2005)., hlm. 80.

[29] Onong U-Efendy. Komunikasi dan Modernisasi. Bandung : Alumni, 1973.., hlm. 56

[30] Onong U-Efendy. Komunikasi dan Modernisasi. Bandung : Alumni, 1973.., hlm. 57-58

[31] Isparwoto, Komuikasi dalam penyelesaian konflik di sekolah dasar., dalam Jurnal Pendidikan dan Pengajaran. Jilid 45, nomor 3. Oktober 2012., hlm. 272-283.

[32] Rochaety, E., Rahayuningsih, P. & Gusti, P.Y. Sistem Informasi Manajemen Pensisikn. (Jakarta: Bumi  Aksara, 2008)., hlm. 143.

[33] Ardana, K., mujiati., & Ayusari A.G.  Perilaku Keorganisasian. (Yogyakarta : garah Ilmu, 2008)., hlm. 57.

[34] Pace, R.W., & Faules, D.F. Komunikasi Organisasi, Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan, (Alih  Bahasa deddy Mulyana). (Bandung : Remaja Rosda karya., 2006)., hlm 148.

(upload by R.Lalan Fuandara)

https://nge.nung.edu.ua/